Home » » Peran Logika Hukum

Peran Logika Hukum

Peaper

Peranan Logika Dalam Ilmu Hukum
Tugas ini di ajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Logika Hukum Dosen pengampu: Drs. Triwahyu BU.,Mpd.,MT.


Oleh    : Umar Faruq
NIM    : 1030102152
Fakultas : Hukum
Jurusan : Ilmu Hukum

universitas cokroaminoto yogyakarta
Tahun 2013-2014




BAB I
PENDAHULUAN

 
Dalam terminologi hukum atau bahasa hukum dikenal tiga bahasa yang lazim digunakan yakni law of reasoning (hukum penalaran), legal reasoning (penalaran hukum), dan law and logic (hukum dan logika.
 
Defenisi hukum yang lengkap dapat mengakomodasi semua aliran dalam hukum penalaran adalah defenisi hukum yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Menurut Kusumaatmadja Hukum adalah seperangkat aturan, kaidah-kaidah, asas-asas dan institusi-instutsi serta proses yang mengikat daya keberlakuannya. Sementara logika berasal dari kata logos yng berarti kata, pertimbangan akal, dan percakapan. Atau dengan bahasa yag sederhana logika_logos diartikan suatu pertimbangan perkataan berdasarkan akal yang sehat atau sesuai dengan standar yang normal.
 
Contoh penggunaan logika hukum: dalam Pasal 362 KUHP menegaskan barang siapa mengambil barang baik sebagian maupun secara keseluruhan secara melawan hukum dengan maksud untuk memiliki diancam dengan pida penjara selama lima tahun atau pidana denda sebanyak sembilan ratus rupiah.
 
Jika diterapkan pada pencurian barang seperti kendaraan bermotor. Misalnya si A membawa motor si B tanpa sepengatahuan si B, dan kemudian dalam beberapa jam kemudian Motor itu dikembalikan ditempatnya, dan baru si B mengetahuinya. Dengan menerapakan ketentuan Pasal 362 berarti salah satu unsurnya tidak terpenuhi yakni si A tidak memenuhi unsur perbuataannya “dengan maksud memilki Itu”. Maka bukan dalam kategori pencurian.
Namun sebenarnya kalau ditinjau lebih jauh, dari pemakaian kendaraan bermotor tersebut oleh si A, ada barang yang hilang yakni bensin kendaraan bermotor. Berarti pencurian yang terjadi adalah pencurian bensin.
 
Dengan demikian logika hukum berfungsi untuk menalar hukum, menalar ketentuan pasal-pasal terhadap peristiwa hukum (seperti peristiwa pidana) sehingga penalaran tersebut sesuai dengan alur berpikir sistematis, metodik untuk menghasilkan preposisi hukum yang benar serta imperatif.

BAB II
PEMBAHASAN

 
A. DEFINISI LOGIKA
Istilah logika, dari segi etimologis, berasal dari kata Yunani logos yang digunakan dengan beberapa arti, seperti ‘ucapan, bahasa, kata, pengertian, pikiran, akal budi, ilmu’ (Poespoprodjo, 1981: 2). Dari kata logos kemudian diturunkan kata sifat logis yang sudah sangat sering terdengar dalam percakapan kita sehari-hari. Orang berbicara tentang perilaku yang logis sebagai lawan terhadap perilaku yang tidak logis, tentang tata cara yang logis, tentang penjelasan yang logis, tentang jalan pikiran yang logis, dan sejenisnya. Dalam semua kasus itu, kata logis digunakan dalam arti yang kurang lebih sama dengan ‘masuk akal’; singkatnya, segala sesuatu yang sesuai dengan, dan dapat diterima oleh akal sehat.
 
Dengan hanya berdasar kepada arti etimologis itu, apa sebetulnya logika masih belum dapat diketahui. Agar dapat memahami dengan sungguh-sungguh hakekat logika, sudah barang tentu orang harus mempelajarinya. Untuk maksud itu, kiranya tepat kalau, sebagai suatu perkenalan awal, terlebih dahulu dikemukakan di sini sebuah definisi mengenai istilah logika itu.
 
Dalam bukunya Introduction to Logic, Irving M. Copi mendefinisikan logika sebagai suatu studi tentang metode-metode dan prinsip-prinsip yang digunakan dalam membedakan penalaran yang tepat dari penalaran yang tidak tepat (Copi, 1976: 3). Dengan menekankan pengetahuan tentang metode-metode dan prinsip-prinsip, definisi ini hendak menggarisbawahi pengertian logika semata-mata sebagai ilmu. Definisi ini tidak bermaksud mengatakan bahwa seseorang dengan sendirinya mampu bernalar atau berpikir secara tepat jika ia mempelajari logika. Namun, di lain pihak, harus diakui bahwa orang yang telah mempelajari logika–jadi sudah memiliki pengetahuan mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir–mempunyai kemungkinan lebih besar untuk berpikir secara tepat ketimbang orang yang sama sekali tidak pernah berkenalan dengan prinsip-prinsip dasar yang melandasi setiap kegiatan penalaran. Dengan ini hendak dikatakan bahwa suatu studi yang tepat tentang logika tidak hanya memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir tepat, melainkan juga membuat orang yang bersangkutan mampu berpikir sendiri secara tepat dan kemudian mampu membedakan penalaran yang tepat dari penalaran yang tidak tepat. Ini semua menunjukkan bahwa logika tidak hanya merupakan suatu ilmu (science), tetapi juga suatu seni (art). Dengan kata lain, logika tidak hanya menyangkut soal pengetahuan, melainkan juga soal kemampuan atau ketrampilan. Kedua aspek ini berkaitan erat satu sama lain. Pengetahuan mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir harus dimiliki bila seseorang ingin melatih kemampuannya dalam berpikir; sebaliknya, seseorang hanya bisa mengembangkan keterampilannya dalam berpikir bila ia sudah menguasai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir.
Namun, sebagaimana sudah dikatakan, pengetahuan tentang metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir tidak dengan sendirinya memberikan jaminan bagi seseorang dapat terampil dalam berpikir. Keterampilan berpikir itu harus terus-menerus dilatih dan dikembangkan. Untuk itu, mempelajari logika, khususnya logika formal secara akademis sambil tetap menekuni latihan-latihan secara serius, merupakan jalan paling tepat untuk mengasah dan mempertajam akal budi. Dengan cara ini, seseorang lambat-laun diharapkan mampu berpikir sendiri secara tepat dan, bersamaan dengan itu, mampu pula mengenali setiap bentuk kesesatan berpikir, termasuk kesesatan berpikir yang dilakukannya sendiri.
 
Jenis Logika
Logika dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa aspek atau sudut pandang. Di antaranya ialah berdasarkan sumber dari mana pengetahuan logika diperoleh, sejarah perkembangan, bentuk dan isi argumen, dan proses atau tata cara penyimpulan.
 
a. Logika Alamiah
Dari nama istilah itu saja sudah tampak apa maksudnya. Setiap manusia, dari kodratnya, memiliki jenis logika ini justru karena ia adalah makhluk rasional. Sebagai makhluk rasional, ia dapat berpikir. Hukum-hukum logika yang dibawa sejak lahir ini memungkinkan manusia dapat bekerja dan bertindak, baik secara spontan maupun disengaja. Dengan perkataan lain, dengan mendasarkan diri pada akal sehat saja, manusia mampu berpikir dan bertindak. Tetapi, hukum-hukum logika ini hanya dapat membantu manusia dalam menghadapi hal-hal keseharian yang bersifat rutin dan sepele. Bila manusia mulai dihadapkan kepada masalah-masalah yang sulit dan kompleks, maka logika alamiah dengan hukum-hukum akal sehatnya sudah tidak dapat diandalkan. Dalam menghadapi masalah-masalah semacam itu manusia dituntut untuk memiliki pengetahuan yang memadai mengenai hukum-hukum, cara-cara, metode-metode bagaimana seharusnya bernalar, sehingga dengan demikian baik proses atau prosedur penalaran maupun kesimpulan yang dihasilkannya betul-betul terjamin kepastiannya. Untuk maksud itulah manusia membutuhkan logika ilmiah.
 
b. Logika Ilmiah
Uraian di atas memperlihatkan bahwa kelemahan-kelemahan logika alamiah akan dapat diatasi bila manusia memiliki logika ilmiah. Jenis logika kedua ini mampu membekali manusia dengan prinsip-prinsip, norma-norma, dan teknik-teknik tertentu, yang apabila dipatuhi secara sungguh-sungguh, maka ketepatan proses penalaran beserta keabsahan kesimpulan dapatlah dipertanggungjawabkan.
Dengan demikian, berbeda dengan logika alamiah yang didapat secara kodrati, logika ilmiah justru harus diperoleh dengan mempelajari dan menguasai hukum-hukum penalaran sebagaimana mestinya. Kemudian, dengan menerapkan hukum-hukum tersebut secara terus-menerus, setiap bentuk kekeliruan penalaran dapat dihindari.
Sejarah Perkembangan
 
Ditinjau dari segi pertumbuhan dan perkembangannya, logika biasanya dikenal dalam dua jenis, yakni logika klasik dan logika modern
 
a. Logika Klasik
Jenis logika ini merupakan ciptaan Aristoteles (384—322 seb. M), salah seorang filsuf besar yang hidup di zaman Yunani kuno. Dia adalah orang pertama yang melakukan pemikiran sistematis tentang logika. Karena alasan itu, logika ciptaannya itu disebut juga logika Aristoteles atau logika tradisional. Namun demikian, ia sendiri tidak menggunakan istilah logika, melainkan istilah analitika dan dialektika. Dengan analitika dimaksudkan penyelidikan terhadap argumen-argumen yang bertolak dari putusan-putusan yang benar; sedangkan dialektika adalah penyelidikan terhadap argumen-argumen yang bertolak dari putusan-putusan yang masih diragukan kebenarannya.
 
Bagi Aristoteles logika bukanlah suatu ilmu di antara ilmu-ilmu lain. Hal ini tampak dari organon (yang berarti ‘alat’), judul yang ia berikan kepada kumpulan karangannya tentang logika. Menurut dia, logika merupakan alat untuk mempraktekkan ilmu pengetahuan. Dengan perkataan lain, baginya logika adalah persiapan yang mendahului ilmu-ilmu. Baru kemudian, pada permulaan abad III Masehi, Alexander Aphrodisias mulai menggunakan istilah logika dengan arti seperti yang dikenal sekarang (Bertens, 1979: 135—6).
 
Sampai pertengahan abad ke-19 pembicaraan mengenai logika tetap tidak bergeser dari apa yang sudah ditetapkan Aristoteles dalam logika klasik dan tidak mengalami perubahan sedikit pun.
 
b. Logika Modern
Suatu perkembangan baru dalam logika mulai tampak ketika beberapa ahli matematika Inggris, seperti A. de Morgan (1806—1871) dan George Boole (1815—1864), mencoba menerapkan prinsip matematika ke dalam logika klasik. Dengan menggunakan lambang-lambang nonbahasa atau lambang-lambang matematis, mereka berhasil merintis lahirnya suatu jenis logika lain, yakni logika modern, yang disebut juga logika simbolis atau logika matematis, yang sejak pertengahan Abad ke-19 dibedakan dari logika klasik.
 
Bentuk dan Isi Argumen
Dengan bertolak dari segi bentuk dan isi argumen, logika dapat dibedakan atas logika formal dan logika material. Logika formal membahas masalah bentuk argumen, sedangkan logika material memusatkan perhatiannya pada masalah isi argumen.
 
a. Logika Formal
Persoalan mengenai bentuk penalaran, yang menjadi pusat penyelidikan dalam logika formal, tidak lain merupakan persoalan yang menyangkut proses penalaran. Dalam hal ini yang dipertanyakan adalah: apakah proses penalaran (dari premis-premis ke kesimpulan) dalam suatu argumen tertentu tepat atau tidak, lurus atau tidak? Bila ternyata proses penalarannya tepat, maka kesimpulan yang dihasilkan pasti tepat juga. Dalam logika formal, argumen seperti itu disebut argumen yang sahih (valid). Jadi, suatu argumen hanya dapat dikatakan sahih dari segi bentuk bila kesimpulan penalaran tersebut memang diturunkan secara tepat atau lurus dari premis-premisnya atau, dengan kata lain, bila kesimpulan yang ditarik itu sungguh-sungguh merupakan implikasi logis dari premis-premisnya. Selain dari itu, bentuk argumen dikatakan tidak sahih. Jelaslah, bahwa yang memainkan peranan kunci bagi sahih atau tidak sahihnya bentuk suatu penalaran adalah premis-premis yang berfungsi sebagai landasan atau dasar penyimpulan. Dengan demikian, penataan premis-premis yang keliru dengan sendirinya akan berakibat pada kesimpulan yang keliru pula.

b. Logika Material
Bila logika formal berbicara tentang tepat tidaknya proses penalaran, maka logika material berurusan dengan benar tidaknya proposisi-proposisi yang membentuk suatu argumen. Itu berarti bahwa suatu argumen hanya dapat dikatakan benar dari segi isi bila semua proposisi (premis-premis dan kesimpulan)-nya benar, artinya, semua proposisi itu sesuai dengan kenyataan. Jadi, jika satu saja dari proposisi-proposisi dalam suatu argumen tidak benar, maka argumen tersebut, sebagai satu kesatuan, dari segi isi, dikatakan tidak benar.
 
B. Arti Penting Logika Terhadap Ilmu Hukum 
Logika hukum adalah suatu jalan pemikiran tentang bagamana peraturan itu dibuat, dan ditemukan dalam bentuk peraturan dan penemuan hukum.
 
Kelsen memandang ilmu hukum adalah pengalaman logical suatu bahan di dalamnya sendiri adalah logikal (Scholten, 2003:5). Ilmu hukum adalah semata-mata hanya ilmu logikal. Ilmu hukium adalah bersifat logikal sistematikal dan historikal dan juga sosiologikal (Scholten, 2003:7). 
 
Logika hukum berfungsi sebagai suatu metode untuk meneliti kebenaran atau ketepatan dari suatu penalaran, sedangkan penalaran adalah suatu bentuk dari pemikiran. Penalan tersebut bergerak dari suatu proses yang dimulai dari penciptaan konsep (conceptus), diikuti oleh pembuatan pernyataan (propositio),kemudian diikuti oleh penalaran (ratio cinium, reasoning).
 
Logika hukum (legal reasoning) mempunyai dua arti, yakni arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas, logika hukum berhubungan dengan aspek psikologis yang dialami hakim dalam membuat suatu penalaran dan putusan hukum. Logika hukum dalam arti sempit, berhubungan dengan kajian logika terhadap suatu putusan hukum, yakni dengan melakukan penelaahan terhadap model argumentasi, ketepatan dan kesahihan alas an pendukung putusan (Munir Fuady).
 
Selanjutnya Munir Fuady menjelaskan bahwa logika dari ilmu hukum yang disusun oleh hukum mencakup bebrapa prinsip diantaranya; Pertama, prinsip eksklusi, adalah suatu teori yang memberikan pra anggapan bahwa sejumlah putusan independen dari badan legislatif merupakan sumber bagi setiap orang, karenanya mereka dapat mengidentifikasi sistem. Kedua, prinsip subsumption, adalah prinsip di mana berdasarkan prisip tersebut ilmu hukum membuat suatu hubungan hierarkhis antara aturan hukum yang bersumber dari legislatif superior dengan yang inferior. Ketiga, prinsip derogasi, adalah prinsip-prinsip yang merupakan dasar penolakan dari teori terhadap aturan-aturan yang bertentangan dengan aturan yang lain dengan sumber yang lebih superior. Keempat, prinsip kontradiksi, adalah adalah prinsip-prinsip yang merupakan dasar berpijak bagi teori hukum untuk menolak kemungkinan adanya kontradiksi di antara peraturan yang ada.
Sumber Hukum
 
Sumber hukum memiliki banyak makna, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Sumber hukum menurut Ishaq (2008:91), adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan yang mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan tersebut dilanggar, akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya. Secara umum, sumber hukum ada dua macam, yakni sumber hukum formil dan sumber hukum materiil. Sumber hukum formil adalah sumber hukum yang dirumuskan peraturannya dalam suatu bentuk, sedangkan sumber hukum materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi dari sebuah peraturan tersebut.
Kansil menyatakan bahwa sumber hukum materiil dapat ditinjau dari berbagai sudut, misal dari sudut sejarah, ekonomi, sosiologis, filsafat, dan lain-lain. Sedangkan sumber hukum formil dibagi menjadi lima, diantaranya (C.S.T. Kansil, 1989:46):
a.    Undang-Undang (statute)
b.    Kebiasaan (custom)
c.    Putusan Hakim (jurisprudence)
d.    Traktat (treaty)
e.    Pendapat sarjana hukum (doktrin)

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Logika hukum adalah suatu hasil proses berpikir yang dibutuhkan oleh setiap ahli hukum, calon ahli hukum atau penegak hukum. Mempunyai kompetensi untuk menerapkan atau pembentuk hukum selalu memperhatikan antara pertimbangan hukum dan amar putusan. Melakukan perumpamaan selama melakukan proses olah pikir dengan berargumentasi hukum akan memudahkan pemahaman.
Kesalahpahaman terhadap peran logika di dalam argumentasi hukum yaitu :berkaitan dengan keberatan terhadap penggunaan logika silogistik (sylogistiche logica). berkaitan dengan peran logika dalam proses pengambilan keputusan oleh hakim dan pertimbangan-pertimbangan yang melandasi keputusan. berkaitan dengan alur logika formal dalam menarik suatu kesimpulan.logika tidak berkaitan dengan aspek substansi dalam argumentasi hukum menyangkut tidak adanya kriteria formal yang jelas tentang hakikat rasionalitas nilai di dalam hukum.
 
B. Saran
Saran-saran ini di khususkan untuk mahasiswa fakultas hukum baik yang masih dalam bangku kuliah atau sudah lulus, agar dalam menerapkan hukum nantinya mempertimbangkan antara amar ma’ruf untuk mengadili suatu persidangan.
 
DAFTAR PUSTAKA

-    Andi Hamzah. 1989. Kamus Hukum. Jakarta:
-    Satjipto Rahardjo. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni.
-    Sudikno Mertokusumo. 2003. Mengenal Hukum. Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
-    Munir Fuady. 2010. Dinamika Teori Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia.
-    Paul Scholten. 2003. Struktur Ilmu Hukum. Bandung: Alumni.



0 comments:

Post a Comment

 
Copyright © 2012. Umar Faruq Blog - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger | Web Design