Analisa Aliran Sosiologi Hukum terhadap “Quo Vadis”
Kasus Bibit-Chandra
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penegakan hukum
sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum, maka sudah semestinya seluruh
energi dikerahkan agar hukum mampu bekerja untuk mewujudkan nilai-nilai moral
dalam hukum. Kegagalan dalam hukum untuk mewujudkan nilai hukum tersebut
merupakan ancaman bahaya akan bangkrutnya hukum yang ada. Hukum yang miskin
implementasi terhadap nilai-nilai moral akan berjarak serta terisolasi dari masyarakatnya.
Keberhasilan penegakan hukum akan menentukan serta menjadi barometer legitimasi
hukum ditengah-tengah realitas sosialnya.[1]
Upaya pemberantasan korupsi
di Indonesia
secara konsisten dan berksinambungan adalah kunci utama untuk memberantas koruptor-koruptor
yang telah merugikan negara. Namun ditengah perjalanan dalam membarantas
korupsi, lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapatkan berbagai
rintangan dan halangan salah satunya berupa upaya mengkriminalisasi beberapa
pimpinan KPK, namun counter attack yang dilakukan oleh koruptor-koruptor
untuk melemahkan gerakan KPK harus kandas ditengah jalan karena mendapatkan
dukungan yang luar biasa dari masyarakat, sehingga kasus kriminalisasi pimpinan
KPK terpaksa dihentikan dengan alasan Sosiologis.
Bibit Samad Rianto dan
Chandra M Hamzah kembali menjadi tersangka menyusul putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan yang menerima permohonan praperadilan Anggoro Widjojo. Putusan
tersebut menyatakan bahwa Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) yang
dikeluarkan oleh Kejaksaan tidak sah dan memerintahkan agar perkara
Bibit-Chandra dilimpahkan ke pengadilan.[2]
Secara yuridis formal dan
dengan menggunakan kaca mata kuda, tidak ada yang salah dengan putusan pra
peradilan tersebut. Sejak awal, penerbitan SKPP telah menimbulkan pertentangan
logika berpikir hukum. Disatu sisi, dalam kasus kriminalisasi Bibit-Chandra
Kejaksaan telah mengeluarkan P-21, yang berarti perkara telah lengkap, termasuk
bukti-buktinya, dan siap dilimpahkan ke Pengadilan. Namun disisi yang lain,
Kejaksaan menerbitkan SKPP. [3]
Berdasarkan ketentuan Pasal
140 ayat (2) KUHAP, SKPP diterbitkan jika perkara tersebut tidak cukup bukti,
perkara tersebut bukan merupakan perbuatan pidana atau perkara ditutup demi
hukum. Sementara itu, perkara ditutup demi hukum bila perkara tersebut nebis
in idem, kadaluarsa atau meninggal dunia.
Pertanyaan kemudian, apakah
dalam penanganan kasus Bibit-Chandra hakim hanya mempertimbangkan yuridis
formal semata? Sudah menjadi rahasia umum bahwa penetapan Bibit-Chandra sebagai
tersangka pemerasan dan penyalahgunaan wewenang dalam kasus Direktur PT. Masaro
Anggoro Widjojo penuh dengan rekayasa. Indikasi ini diperkuat dengan adanya
rekaman pembicaraan yang diperdengarkan dalam siding MK, 3 November 2009. selain itu, juga
pengakuan ulang disampaikan oleh mantan Kabareskrim Polri Susno Duadji bahwa
ada dugaan kriminalisasi terhadap kedua pimpinan KPK tersebut.[4]
Proses
hukum terhadap Chandra M. Hamzah dan
Bibit Samad Rianto menjadi isu strategis di masyarakat karena menimbulkan
kecurigaan adanya rekayasa terhadap proses hukum tersebut.[5] Apabila hal ini
terus dibiarkan maka akan menimbulkan dampak yang sangat besar seperti hilangnya public trust terhadap lembaga penegak
hukum yang ada. Oleh karena itu, hakim dalam mengadili perkara Bibit-Chandra
harus bertindak hati-hati dan tidak hanya berkutat pada formal legalistik.
Tetapi juga harus memerhatikan kasus tersebut dari berbagai aspek, termasuk
aspek sosiologis. Terlabih dalam hukum pidana yang dicari adalah kebenaran
materil dan bukan kebenaran formal.
Upaya
lainnya untuk menyelamatkan lembaga KPK dari praktek kriminalisasi adalah
dengan menggunakan hak pengesampingan perkara (depooner) oleh Jaksa
Agung melalui mekanisme Pasal 35 huruf c Undang-Undang Kejaksaan RI yang
berbunyi :
Jaksa agung mempunyai wewenang
mengesampingkan perkara demi kepentingan umum
Hal
ini merupakan asas oppurtunitas Jaksa Agung untuk tidak melakukan penuntutan
suatu perkara pidana demi kepentingan umum.
Suatu pemahaman serta pengkajian
secara sosiologis terhadap hukum, termasuk penegakannya, merupakan suatu
kebutuhan yang minta dipenuhi untuk saat-saat seperti sekarang ini. Yang
dimaksud “saat-saat seperti sekarang” ini adalah masa suatu masyarakat, dalam
hal ini Indonesia,
tengah mengalami perubahan-perubahan, suatu kurun zaman yang ditandai oleh
perubahan sosial.[6]
B.
Masalah Pokok
1.
Bagaimana pandangan aliran sosiologi terhadap hukum?
2.
Bagaimana pandangan aliran sosiologi hukum terhadap perkara Bibit-Chandra?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pandangan Aliran
Sosiologi Terhadap Hukum
Aliran
ini dipelopori oleh Hammaker, Eugen Erlich dan Max Weber. Menurut aliran
sosiologi, hukum merupakan hasil interaksi sosial dalam masyarakat. Hukum adalah
gejala masyarakat, karenanya perkembangan hukum (timbulnya, berubahnya dan
lenyapnya) sesuai dengan perkembangan masyarakat. Perkambangan hukum merupakan
kaca dari perkembangan masyarakat.[7]
Oleh sebab itu menurut aliran
sosiologis, hukum bukanlah norma-norma atau peraturan-peraturan yang memaksa
orang berkelakuan menurut tata tertib yang ada dalam masyarakat, tetapi
kebiasaan-kebiasaan orang dalam pergaulannya dengan orang lain, yang menjelma
dalam perbuatan atau perilakunya dimasyarakat. Hammaker, yang meletakkan dasar
sosiologi hukum di Belanda menyatakan, hukum itu bukan suatu himpunan
norma-norma, bukan himpunan peraturan-peraturan yang memaksa orang berkelakuan
menurut tata tertib masyarakat, tetapi suatu himpunan peraturan-peraturan yang
menunjuk ‘kebiasaan’ orang dalam pergaulannya dengan orang lain didalam
masyarakat itu.[8]
Menurut Soekanto, aliran Sosiological
Jurispridence yang dipelopori oleh Eugen Erlich (1826-1922) yang berasal
dari Asutria, bukunya yang terkenal “Fundamental Principle of The Sociology
of Law”. Erlich mengatakan bahwa ajarannya adalah berpokok pada perbedaan
antara hukum positif (kaidah-kaidah hukum) dengan hukum yang hidup di
masyarakat. Erlich juga mengatakan bahwa pusat perkembangan dari hukum bukanlah
terletak pada badan-badan legislatif, keputusan-keputusan badan yudikatif atau
ilmu hukum, tetapi senyatanya adalah justru terletak didalam masyarakat itu
sendiri. Kemudian dalam hal tata tertib di masyarakat dilaksanakan pada
peraturan-peraturan yang dipaksakan oleh negara.[9]
Tokoh penting lainnya ialah Roscoe
Pound (1870-1964), yang berasal dari Amerika mengemukakan bahwa hukum itu harus
dilihat atau dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi
dalam rangka memenuhi akan kebutuhan sosial, serta tugas ilmu hukumlah untuk
mengembangkan suatu kerangka kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara
maksimal. [10]
Pound juga membedakan dalam
mempelajari hukum, ada hukum sebagai suatu proses yang hidup dimasyarakat (law
in action) dan ada hukum yang tertulis (law in the books). Ajaran
pound ini bukanlah satu atau sebagian hukum saja tetapi semua bidang hukum baik
subtantif maupun ajektif. Sehingga hukum tersebut apakah sudah sesuai dengan
yang senyatanya. Malah Pound menambahkan kajian sosiologi hukum itu sampai
kepada putusan dan pelaksanaan pengadilan, serta antara isi suatu peraturan
dengan efek-efek nyatanya.[11]
Leon Duguity terkenal dengan
konsepsi ‘Solidaritas Sosial’ menyatakan
bahwa berlakunya hukum itu sebagai suatu realita, ia diperlukan oleh manusia
yang hidup bersama dalam masyarakat. Hukum tidak tergantung pada kehendak
penguasa, tetapi bergantung kepada kenyataan sosial. Berlakunya hukum
berdasarkan solidaritas dari para anggota masyarakat untuk menaatinya. Suatu
peraturan adalah hukum apabila mendapat dukungan dari masyarakat secara
efektif. Menurut Duguity, pembentuk undang-undang tidak menciptakan hukum,
tetapi hanya mentransformasikan saja hukum yang hidup dalam masyarakat menjadi
suatu bentuk yang bersifat teknis yuridis.[12]
B. Pandangan Aliran
Sosiologi Hukum Terhadap Perkara Bibit-Chandra.
Dengan
dikabulkannya putusan praperadilan atas SKPP Bibit-Chandra membawa dampak yang
buruk terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. Runtutan panjang
skenario kriminalisasi pimpinan KPK rupanya masih berlanjut, yang dulu sempat
terhenti karena mendapat jutaan protes dari masyarakat. Masyarakat sebagai
pemegang kedaulatan bangsa mengekpresikan penolakannya terhadap upaya
kriminalisasi dengan berbagai cara dan yang
paling popular adalah dengan gerakan sejuta rakyat Indonesia
menolak upaya kriminalisasi KPK melalui Facebook. Yang mana pada akhirnya
pemerintah mendapatkan tekanan yang cukup kuat dari masyarakat untuk
menghentikan upaya kriminalisasi terhadap Bibit-Chandra.
Tekanan
publik (public pressur) terhadap pemerintah dalam perkara kriminalisasi
KPK adalah bentuk ketidaksetujuan masyarakat terhadap proses hukum yang sedang
berlanjut, karena proses hukum yang sedang berlansung tersebut sangat jauh dari
nilai-nilai keadilan yang ada ditengah masyarakat. Menurut aliran Sosiologis,
hukum tidak tergantung pada kehendak penguasa, tetapi bergantung kepada
kenyataan sosial. Berlakunya hukum berdasarkan solidaritas dari para anggota
masyarakat untuk menaatinya. Suatu peraturan adalah hukum apabila mendapat dukungan
dari masyarakat secara efektif. Upaya kriminalisasi KPK menurut aliran
sosiologis adalah sebuah upaya untuk memisahkan hukum dari masyarakat.
Menganai dikabulkannya praperadilan
terhadap SKPP Bibit- Chandra di Pengadilan, memberikan gambaran bahwasanya para
hakim di Indonesia
masih terjebak didalam pemikiran legal-formalistik. Konsep hukum hanya dipahami
sebatas peraturan perundang-undangan tanpa memperhatikan aspek-aspek lainnya
terutama aspek sosiologis. Maraknya penolakan dari masyarakat terhadap upaya
kriminalisasi KPK tidak mendapatkan perhatian dari hakim yang memutuskan
praperadilan SKPP Bibit-Chandra. Menurut Satjipto Rahardjo Penegakan hukum
bukanlah merupakan suatu kegiatan yang berdiri sendiri, melainkan mempunyai
hubungan timbal balik yang erat dengan masyarakatnya.[13]
Hal ini menjadi bukti ketidakmampuan hakim
Indonesia untuk bertindak mandiri dan bebas dalam proses dan fungsi pembaharuan
hukum nasional itu sesungguhnya tidak hanya bersebab pada status para hakim
(sebagai pegawai negeri) yang sebenarnya kurang menjamin kemandiriannya, akan
tetapi juga oleh sebab lain. Doktrin dan tradisi yang dianut dalam badan-badan
pengadilan di Indonesia
telah mengkonsepkan hakim sebatas sebagai pengucap bunyi hukum yang harus
mereka temukan dari sumber-sumber formal yang telah ditetapkan terlebih dahulu
secara doktrinal. Pendidikan kehakiman dan kehakiman di Indonesia telah
terlanjur sangat menekankan cara berpikir deduktif lewat silogisme logika
formal, tanpa mencoba mendedah mahasiswa juga kecara berpikir induktif yang
diperlukan untuk menganalisis dari kasus-kasus itu untuk mengembangkan case
law.[14]
Dalam realitas kemasyarakatan
Indonesia saat ini, kita melihat begitu
banyak penyelesaian kasus-kasus yang lebih berorientasi pada hukum yang formal
(positivisme hukum), telah banyak kegagalan dan telah menimbulkan
kesewenang-wenangan dan ketidakadilan, pembacaan ulang terhadap hukum kita
merupakan sesuatu yang harus dilakukan[15] dan dengan aliran sosiologis, hukum mendapatkan tempat
ditengah-tengah masyarakat.
Perspektif hukum dalam konteks
interaksi sosial mengalami perubahan dalam hal pengaturan dan penerapan
hukuman. Hukum yang diharapkan bisa mewujudkan hubungan yang seimbang, humanis
dalam memecahkan persoalan siapa yang benar dan siapa yang salah, ternyata
berubah dalam kenyataannya kearah pengaturan dan penerapan hukuman bagi siapa
yang kuat dialah yang menang. Inilah fenomena yang mewarnai penerapan hukum
dalam konteks sosial. Anggodo yang mencoba melakukan penyuapan terhadap KPK dan
menjadi salah satu sutradara untuk mengkriminalisasi KPK masih bisa menghirup
udara segar, hal ini di asumsikan bahwa Anggodo memiliki kekuatan materi yang
bisa mempengaruhi para aparat penegak hukum.
Studi perubahan hukum sangat lekat
dengan cara mengarahkan peran negara sebagaimana yang diharapkan, yang tidak
lepas dengan ketertiban sosial dimana anggota masyarakat saling berinteraksi
satu sama lain. Disinilah posisi hukum menjadi multi dimensi dalam kehidupan
manusia, oleh karena itu dalam perubahan hukum juga menyangkut secara lansung
terhadap keperluan ketertiban sosial yang meliputi nilai dan norma sosial,
sistem kemasyarakatan, kebiasaan dan relasi sosial yang belum maupun yang sudah
mapan, dan sistem kelembagaan sehingga meskipun ada pergerseran tetapi pranata
hukum tetap terjaga.[16]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Hukum
dan masyarakat merupakan sebuah entitas yang tidak dapat dipisahkan. Hukum
lahir dari adanya interaksi antar masyarakat dan masyarakat dalam menjalani
kehidupannya sangat memerlukan hukum agar terciptanya kedamaian dan ketertiban.
Norma-norma yang hidup ditengah masyarakat mengkristal dalam wujud hukum, hukum
yang dinamis dan multi dimensi yang bisa menjawab semua permasalahan yang ada
ditengah masyarakat oleh karena itu aliran sosiologis berpendapat bahwa hukum
adalah hasil interaksi masyarakat. Untuk
itu hukum harus mencerminkan tentang nilai-nilai yang hidup ditengah-tengah
masyarakat.
Dengan diterimanya putusan
praperadilan SKPP Bibit-Chandra menjadi bukti bahwa Hakim di Indonesia dalam
memutuskan suatu perkara masih menggunakan konsep legal-formalitik. Hakim hanya
memandang dari sisi yuridis semata, sedangkan aspek yang lainnya seperti aspek
sosiologis tidak mendapatkan tempat dalam memutus sebuah perkara. Padahal esensinya hukum dan masyarakat adalah
dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dengan adanya putusan ini menjadi bukti bahwa
keadilan menurut hukum berbeda dengan keadilan yang hidup ditengah masyarakat.
Untuk itu diperlukan perubahan menuju kepada hukum yang lebih mencerminkan
keadilan ditengah masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Anthon
F. Susanto, Ilmu hukum Non Sistemik Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum
Indonesia,
Genta Publishing, Yogyakarta, 2010
Bambang Widodo Umar, Paradigma
Sosiologi Hukum, Jakarta,
2010
Eddy
Os Hiariej, Staf Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM dalam “Quo Vadis”
Kasus Bibit-Chandra? Opini Harian
Kompas, 28 April 2010
Muhammad Siddiq Tgk. Armia, Perkembangan
Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2008
Laporan
dan rekomendasi Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum Atas Kasus
Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto
Satjipto
Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009
Soetandyo
Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional, Rajawali Pres, Jakarta, 1993
[1]
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2009, Hal. viii
[2] Eddy
Os Hiariej, Staf Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM dalam “Quo Vadis”
Kasus Bibit-Chandra? Opini Harian
Kompas, 28 April 2010,
Hal. 7
[3] Ibid
[4] Ibid
[5]
Laporan dan rekomendasi Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum Atas
Kasus Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto.
[6] Op.
Cit. Satjipto Rahardjo, Hal. 156
[7] Muhammad Siddiq Tgk. Armia, Perkembangan
Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2008, Hal. 9
[8] Ibid,
Hal. 10
[10] Ibid
[11] Ibid,
Hal. 157
[13] Op.Cit.,
Satjipto Rahardjo, Hal. 31
[14]
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional,
Rajawali Pres, Jakarta,
1993, Hal. 244
[15]
Anthon F. Susanto, Ilmu hukum Non Sistemik Fondasi Filsafat Pengembangan
Ilmu Hukum Indonesia,
Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, Hal. 314
[16]
Bambang Widodo Umar, Paradigma Sosiologi Hukum, Jakarta, 2010, Hal. 1
0 comments:
Post a Comment