Home » » Hubungan Pancasila dengan Pajak

Hubungan Pancasila dengan Pajak

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Pajak merupakan sumber pendapatan utama sebuah negara, karena itu merupakan isu strategis yang selalu menjadi pantauan masyarakat. Apalagi sekarang telah dilakukan pembahasan RUU Pajak yang baru yang akan menggantikan UU No. 16/2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Urgensi pajak bagi kelangsungan pembangunan tak lagi disangsikan. Karena itu wajar jika pemerintah terus berupaya menggali berbagai potensi tax coverage (lingkup/cakupan pajak) sekaligus menekankan tax compliance (kepatuhan pajak) dari masyarakat. Namun demikian, kepatuhan pajak yang bersumber dari kesadaran masyarakat terhadap penunaian kewajiban membayar pajak itu tentu bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Berbagai persoalan perpajakan yang kerap muncul, baik yang bersumber dari wajib pajak (masyarakat), aparatur pajak (fiscus), maupun yang bersumber dari sistem perpajakan itu sendiri menunjukkan bahwa persoalan pajak merupakan hal yang kompleks. Oleh karena itu, penanganannya perlu diupayakan secara maksimal.
Pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak, sebagai pencerminan kewajiban kenegaraan di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban itu.
Berbagai upaya untuk menciptakan masyarakat agar memiliki apresiasi yang baik terhadap kewajiban membayar pajak tidak terpaku pada wajib pajak belaka, tapi perlu mempertimbangkan aspek-aspek lainnya secara korelatif. Dengan pertimbangan yang simultan, solusi alternatif yang signifikan akan lebih memungkinkan. Dari begitu banyak dan keanekaragaman hak dan kewajiban wajib pajak, salah satunya adalah wajib pajak orang pribadi yaitu  orang yang memperoleh penghasilan baik sebagai seorang direktur dari satu, beberapa, atau bahkan ratusan perusahaan atau seorang pemegang saham atau komisaris atau pegawai menengah atau pegawai rendah atau pekerja mandiri.

BAB II
RUMUSAN MASALAH

Pajak adalah utang anggota masyarakat kepada masyarakat itu sendiri, dan di Indonesia falsafah pajak adalah Pancasila dan sila – silanya dijabarkan dalam undang – undang pajak. Pajak yang dipungut oleh pemerintah harus berdasarkan undang –undang dan hal ini dilaksanakan berdasarkan sumber hukum formal pajak yang terdapat dalam pasal 23 ayat (2) UUD 1945 Republik Indonesia yang menyatakan : “Segala pajak untuk kegunaan kas negara berdasarkan undang – undang” dan juga cerminan dari sila ke empat Pancasila.
Yang mana sifat daripada pajak  merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada pemerintah yang tidak ada imbalannya yang secara langsung dapat ditunjuk, namun karena sifat pajak yang seperti inilah maka pajak dalam kata sehari  - hari hampir menyerupai perampasan, perampokan atau pemberian hadiah, sehingga untuk memberikan paying hukum kepada kegiatan pemungutan pajak maka harus mendapat persetujuan dari rakyat yang mana dengan membentuk Undang – Undang pajak tersebut, namun kenapa harus Undang – Undang hal ini dikarenakan Undang – Undang merupakan Produk dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI  yang dipilih secara langsung dan demokrasi oleh rakyat, sehingga apa yang dibuat dan disetujui oleh DPR maka dianggap rakyat juga setuju. Namun penerimaan uang pajak tersebut harus digunakan untuk membiayai kepentingan umum yang diklasifikasikan kedalam “pengeluaran rutin” dan “pengeluaran pembangunan”.
Dan untuk mengetahui bagaimana penggunan uang pajak tersebut dijalankan maka Pemerintah membuat rancangan APBN  yang diajukan kepada DPR untuk mendapat pengesahan dan dituangkan dalam bentuk undang – undang, dan kemudian pemerintah diwajibkan membuat laporan pertanggungjawaban atas penggunaan APBN tersebut untuk mendapat pengesahan dari DPR dan dimuat dalam undang – undang formal.
Dalam pajak ada juga pengecualian, hal ini berdasarkan pada sila kelima Pancasila yang menyatakan “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, sehingga pengenaan pajak harus berdasarkan pada rasa keadilan, sehingga anak – anak, wanita dan tidak mempunyai penghasilan atau pendapatannya berada dibawah pendapatan rata – rata yang ditentukan PPh maka tidak dikenakan pajak. Dan bagi mereka diluar dari hal tersebut haruslah wajib membayar pajak yang mana hal ini sebenarnya hampir sama dengan zakat.
Pajak dapat dipaksakan dan bersanksi denda dan/ atau sita sedangkan zakat sanksi berupa Dosa yang akan diperhitungkan saat kita di akhirat bagi mereka yang percaya akan Tuhan dan cerminan dari sila kesatu Pancasila. Karena sifat pajak yang dapat dipaksakan maka agar kemanusian yang adil dan beradab yang merupakan cerminan dari sila kedua Pancasila maka undang – undang yang merupakan payung hukum dari pajak haruslah dirancang dan susun secara hati – hati, adil dan lain-lain

BAB III
PEMBAHASAN

1.    Beberapa ahli memberikan pengertian antara pajak antara yang satu dengan yang lainnya. 

Diantara beberapa pengertian yang diberikan oleh para ahli adalah sebgai berikut.
a) Menurut Sommerfeld: pajak adalah suatu pengalihan sumber-sumber yang wajib dilakukan dari sektor swasta kepada sektor pemerintah berdasarkan peraturan tanpa mendapat suatu imabalan kemabali yang langsung dan seimbang, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas tugasnya dalam pemerintahan
b) Menurut Prof. DR. Rochmat Soemitro: pajak adalah pengalihan kekayaan dari pihak rakyat kepad negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan ‘surplus’nya digunakan untuk ‘public saving’ yang merupakan sumber utama untuk membiayai ‘public investment’. Dari pengertian itu dapat disimpulkan unsur-unsur yang terdapat dalam pajak ialah:
  Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksananya;
  Sifatnya dapat dipaksakan, hal ini berarti bahwa pelanggaran atas iuran perpajkan dapat dikenakan sanksi;
 Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontra[restai secara langsung oleh pemerintah;
  Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun daerah;
 Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.

2.    Makna sila kemanusiaan yang adil dan beradab ( sila kedua )

Pokok pikiran dari sila kemanusiaan yang adil dan beradap sbb:
•  Menempatkan manusia sesuai dengan tempatnya sebagai mahluk tuhan,Maksudnya itu mempunyai sifat universal.
• Menjunjung tinggi kmerdekaan sebagai hak segala bangsa.ini juga universal,bila di terpkan di indonesia barang tentu bangsa indonesia menghargai dari setiap warga negara dalam masyarakat indonesia.sila ini mengandung prinsip menolak atau menjauhi suatu yang bersumber pada ras.dan mengusahakannn kebahagiaan lahir dan batin.
• Mewujudkan keadilan dan peradapan yang tidak lemah.yang dituju bangsa indonesia adalah keadilan dan peradapan yang tidak pasif.,yaitu perlu pelurusan dan penegakan (hukum) yang kuat jika terjadi penyimpangan.keadilan harus direalisasikan dalam kehidupan masyarakat.
Hak kebebasan dan kemerdekaan dijunjung tinggi.dengan adanya prisip ini jika dalam masyarakat ada kelompok ras,kita tidak boleh bersifat ekslusif menyendiri satu sama lain.Di indonesia dasar hidup masyarakat persatuan dan kesatuan yang jika di hubungkan dengan prinsip kemanusiaan itu,maka rasionalismeharus tidak ada.oleh karena itudi indonesia diharapkan selalu tumbuh dan berkembang kebahagiaan lahir dan batin.
Mewujudkan keadilan dan peradapan yang tidak lemah berarti diusahakan perwujudannya secara positif.jika ada hal yang menyimpang dari norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku,harus dilakukan tindakan yang setimpal.Prinsip manusia adalah nilai-nilai yara di masyarakat indonesia sudah terpelihara sejak dahulu.nilai itu di perkuat dengan datangnya agama besar di indonesia dan di anut bangsa indonesia.suasana demikian itu menumbuhkan suasana keakrapan,walaupun pada masa dahulu semangat ini mulai kendor,karena fenomena disintregasi yang menampilkan konflik yang disertai dengan tindakan anarkis kekerasaan,dan tindakan yang merendahkan martabat manusia.landasan kehidupan masyarakat indonesia beranjak dari senasib dan sepenanggungan dan kemanusiaan dalam arti luaspersaudaraan dalam arti luas dan meneruskan kebiasaan setia secara mufakat.

A.    Ketentuan Umum

Subjek pajak tidak dapat disamakan dengan wajib pajak, dalam UU No.16 tahun 2000 pasal 1 huruf (a) dikatakan bahwa wajib pajak sebagai orang atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan, ditentukan melakukan kewajiban pajak, dan pasal 2 ayat (1) UU PPh menentukan yang menjadi subjek PPh adalah orang pribadi, warisan yang belum terbagi, badan dan bentuk usaha tetap yang memenuhi syarat – syarat subjektif dan sekaligus menjadi wajib pajak jika memenuhi syarat – syarat objektif.
Pajak memiliki masa pajak sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang yang kurang dari satu tahun atau 12 bulan berturut – turut dan khusus orang luar negeri menurut traktat menyatakan dalam waktu lebih 183 hari berada di Indonesia dianggap sebagai wajib pajak dalam negeri. Dan untuk mengetahuinya ada surat pemberitahuan yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang sesuai peraturan perpajakan. Dan dalam surat pemberitahuan masa atau SPT untuk memberitahukan pajak yang terutang dalam suatu masa/ bagian dari satu tahun. Kemudian ada surat pemberitahuan tahunan mengenai pemberitahuan data yang relevan dan jumlah pajak yang terutang dalam satu tahun pajak hanya untuk PPh, ada juga surat setoran pajak yang digunakan melakukan pembayaran pejak yang terutang dikas Negara, dan surat tagihan pajak (STP) untuk melakukan tagihan pajak dan/ atau untuk menagih sanksi yang berupa bunga atau denda administrasi, kemudian ada surat ketetapan pajak yang menetapkan besarnya jumlah pajak yang terutang dan jumlah pajak yang harus dibayar, dan selanjutnya ada surat ketetapan pajak tambahan (SKPT) yang menambah kumlah pajak yang telah ditetapkan dalam surat ketetapan pajak, dan ada juga surat keputusan kelebihan pembayaran pajak (SKKPP) yang menentukan kelebihan pembayaran pajak yang telah dibayar/ dipotong/ dipungut karena pajak yang telah dibayar, dipotong/ dipungut lebih besar dari pajak yang terutang. Dan ada surat pemberitaan dari Direktorat jenderal pajak kepada wajib pajak yang memberitahu bahwa jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah pajak yang sudah dibayar. Dan ada juga pajak yang terutang yang mana harus dibayar pada suatu saat dalam masa tahun pajak sesuai dengan peraturan pajak.
Ada juga berupa surat paksa yang berbentuk ketetapan/ beschiking untuk membayar pajak sesuai dengan peraturan pajak yang mengaturnya, dan ada berupa kredit pajak untuk memperhitungkan jumlah pajak yang telah dibayar sendiri oleh wajib pajak dengan pajak yang terutang, dan kemudian ada pekerjaan bebas (profesi) yang mana pekerjaan bebas yang dilakukan seseorang yang mempunyai keahlihan khusus dalam suatu bidang tertentu sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat dalam suatu hubungan kerja, dan yang terakhir adalah tindakan pemerikasaan yang dilakukan oleh petugas perpajakan dalam ragka melaksanakan pemeriksaan terhadap wajib pajak untuk mencari bahan – bahan guna perhitungan jumlah pajak yang terutang dan jumlah pajak yang harus dibayar.

B.    Subjek Pajak dan Wajib Pajak

Dalam hal subjek pajak terbagi atas beberapa bagian yakni subjek pajak dalam negeri, subjek pajak luar negeri (pasal 2 ayat (4) UU No. 17 tahun 2000 yang bermula dan berakhirnya subjek pajak tidak ditentukan dalam undang – undang melainkan ditentukan dalam penjelasan. Warisan yang belum terbagi mulai menjadi subjek pajak penghasilan pada saat timbulnya warisan, yakni pada saat pewaris meninggal dunia, dan pada subjek badan usaha milik Negara / daerah, yayasan, koperasi dan bentuk usaha tetap yang juga merupakan subjek pajak pada saat  badan usaha milik Negara/ daerah, yayasan, koperasi dan bentuk usaha tetap tersebut didirikan dan berdomisili di Indonesia.
Dan kemudian dalam hal wajib pajak hampir sama dengan subjek pajak dimana  terdapat wajib pajak dalam negeri dan wajib pajak luar negeri yang mana harus memenuhi syarat – syarat objektif.

C.    Objek Pajak

Yang dapat dijadikan objek pajak sangatlah banyak baik itu keadaan, perbuatan maupun peristiwa. Dan objek pajak ada yang objek pajak langsung yang dikenakan pda objek dapat dipengaruhi keadaan wajib pajak dan objek pajak tidak langsung tidak dipengarui oleh keadaan wajib pajak tetapi objek pajak saja yang menentukan. Objek pajak haruslah didefenisikan dengan tepat dan jelas sehingga tidak menimbulkan penafsiran lain diluar peraturan perundang – undangan, dan objek pajak yang pernah berlaku di Indonesia terdiri dari :
1.    Objek pajak pendapatan (Ordonansi PPd 1944, stb 1944 No.17)
2.    Objek pajak perseroan (Pasal 1 dan 3 Ordonansi 1925, stb 1925 No. 319)
3.    Objek pajak penghasilan ( Undang – Undang No. 7 Tahun 1983, LN 1983 No. 50)
4.    Objek pajak kekayaan (Stb. 1932 No.405) – tidak berlaku lagi  mulai 01-01-1986
5.    Objek pajak penjualan (pajak tidak langsung, Undang – Undang No.19 Drt. Tahum 1951, LN 1951 No.94) – tidak berlaku lagi
6.    Objek pajak pertambahan nilai (Undang – Undang No. 8 tahun 1983)
7.    Objek pajak rumah tangga (Stb. 1908 No.13) – tidak berlaku lagi mulai 01-01-1986
8.    Objek pajak kendaraan bermotor (Stb. 1934 No.718)
9.    Objek bea balik nama kendaraan bermotor (Perpu No. 27 tahun 1959 No.144)
10.    Objek pajak anjing (lembaran kotapraja Jakarta raya No. 24 tahun 1959) pajak sepeda (lembaran kotapraja Jakarta raya no. 6 tahun 1958)
11.    Objek pajak jalanan (lembaran kotapraja Jakarta raya No. 25 tahun 1959) –tidak berlaku lagi mulai 01-01-1986

D.    Lembaga Perpajakan, Unsur Pajak dan Lembaga Administrasi Pajak

Pembuatan undang –undang pajak merupakan lembaga yang berdiri sendiri dan berkesinambungan sepanjang masa, selalu bekerja dalam membuat pajak baru, mengadakan perubahan perundang – undangan pajak atau menghapuskan pajak – pajak yang lama dan dibuat penjelasannya guna mendapat kejelasan dan kepastian hukum. Dan agar Negara dapat mengenakan pajak dengan tepat diperlukan data – data dari wajib pajak, baik mengenai objeknya maupun subjeknya disamping undang – undang yang bersangkutan.
Dan untuk mencegah penyeludupan data tersebut Direktorat jenderal pajak membentuk lembaga pengumpulan data yang pada waktunya dapat digunakan untuk mengadakan pengecekan kebenaran surat pemberitahuan wajib pajak. Yang mana surat pemberitahuan pajak (SPT)  merupakan alat untuk realisasi kerja sama antara wajib pajak dan administrasi pajak dan kemudian diolah dan dikeluarkannya surat ketetapan pajak dan proses ini dilakukan  lembaga pemberitahuan pajak, namun tidak semua hutang pajak mempunyai surat ketetapan pajak (SKP).
Pajak juga mempunyai Lembaga keberatan pajak yang menjadi saran dan saluran hukum yang member kesempatan kepada wajib pajak untuk mencari keadilan apabila ia merasa bahwa dirinya diperlakukan tidak sebagaimana mestinya dan tidak diberlakukan adil oleh pihak administrasi pajak. Selain itu ada juga lembaga peradilan pajak yang memberikan perlindungan pada wajib pajak.
Hukum pada umumnya memaksa karena hukum tanpa sifat paksa tiada gunanya, dan dalam hukum pajak yang merupakan hukum public alat paksa tersebut dapat diterpakan secara langsung tanpa ada proses pesidangan di pengadilan inilah yang disebut parate executie, yang mana kepala inspeksi pajak dapat mengeluarkan surat paksaan tentang penagihan hutang pajak. Namun dalam pajak ada juga pengawasan yang sangat penting dalam manajemen perpajakan. Dan pajak akan terealisasi jika ada lembaga pelaksananya, dan pada dasarnya disebut dengan administrasi pajak, yang merupakan bagian dari Departement keuangan yang terdiri dari Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

PENUTUP

1.    Kesimpulan

Berdasarkan pada sila kelima Pancasila yang menyatakan “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, jadi pajak harus mengaacu terhadap sila-sila yang berlaku di negeri ini, agar supaya masyarakat di indonesia bisa merasakan manisnya hidup di tanah air tercinta ini.
Maka dengan pembayaran wajib pajak setidaknya harus lebih fokus pada orang-orang yang berpenghasilan di atas rata-rata. Supaya keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia benar-benar menjadi bukti bahwa pancasila itu mementingkan pihak yang lemah dan yang paling membutuhkan.

2.    Saran-saran
a.    Agar indonesia mendahulukan masyarakat yang lemah, demi membangun indonesia lebih maju
b.    Agar pembayaran pajak di hususkan bagi kalangan menengah ke atas
c.    Apabila masyarakat yang kurang mampu tidak membayar pajak, sanksinya di tiadakan
d.    Pemerintah seharusnya membuat UU tentang perlindungan pajak bagi orang tidak mampu
e.    Bagaimana pancasila di korelasikan dengan UU yang akan di berlakukan.

BAB V
DAFTAR PUSTAKA

-    Pandiangan, Liberti. 2002. Undang-Undang Perpajakan Indonesia,Erlangga,
Soemitro, Rocmat.1991. Pajak Ditinjau Dari SegiHukum, PT Eresco, Bandung
-    Soemitro, Rochmat. 1992. Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung
Muqodim, 2000. Perpajakan Buku Satu, UII Press dan Ekonesia , Jogyakarta
Brotodiharjo Santoso R, 1993. Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung
-    Alrasid,Harun. Naskah UUD 1945, 2003. Universitas Indonesia, UII Press
Hostaritua, Situmorang. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan

0 comments:

Post a Comment

 
Copyright © 2012. Umar Faruq Blog - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger | Web Design